Rabu, 05 Desember 2012

Sipakatau

Sipakatau, si-pa-ka-tau, artinya kira-kira saling memanusiakan, sesama manusia saling menganggap manusia satu sama lain.

Pajolloro'  jadi ingat istilah ini, karena akan menjadi tema pameran perupa Sulawesi Selatan bulan April tahun depan di Jakarta, undangan Galeri Nasional. Mudah-mudahan ada karyana Pajolloro yang lolos kurasi, itu juga kalo bisaja temukan lagi kelenturan menarik kuas, palet, dan campur tinta. Sipakatau termasuk kearifan khas Sulawesi Selatan yang mulai ditinggalkan hari ini. Dari segi rasa, sipakatau rasanya sejajar dengan nilai siri na pacce. Konflik horizontal, kerusuhan, perkelahian antar kampung dan mahasiswa, bahkan kasus siri' masih bisa didamaikan bila mau saling sipakatau.

Perspektif awal pajolloro saat mendengar istilah ini, langsung membayangkan orang-orang "kurang beruntung", kuli bangunan, kuli pelabuhan, tukang becak, pengemis, dan gelandangan. Itu karena pajolloro juga sering lupa, melihat mereka sebagaimana fungsinya, bukan sebagai manusia yang sedang berfungsi. Sebenarnya lebih luas dari itu.

Sipakatau tidak hanya meliputi bagaimana kita memandang bahwa kita ini manusia, begitu juga yang kita pandang. Seperti saat melihat saudara kita yang secara ekonomi dan derajat klasifikasi lainnya berada di bawah kita, tapi juga kita gunakan untuk melihat mereka yang berada di atas. Raja, pejabat, atasan, presiden, bukanlah dewa, manusia juga, sama seperti kita. Menghargai mereka yang "diatas" kita, itu harus karena adanya beban tanggung jawab pada mereka yang lebih besar dari kita rakyat biasa, tapi kalau sampai mendewakan sudah bukan lagi sipakatau namanya. Itupun yang dihargai "keberaniannya" memikul tanggung jawab besar tersebut, bukan pribadinya, hartanya, atau jabatannya. Apalagi bila nyata-nyata tidak amanah memikul tanggung jawab. Teai tau antu kaue, antekamma la ni pakataui? *bukan manusia kalau tidak amanah, bagaimana mau saling memanusiakan kalau bukan sesama manusia?

Sipakatau boleh jadi makin luntur karena banyak pergaulan hanya melalui media internet, bukan bertatapan langsung. Akun-akun sosial media memang sulit untuk kita perlakukan dan pergauli seperti layaknya manusia. Salah satunya, karena banyak akun palsu dan samaran. Kalau pajolloro, urusannya si pemakai akun palsu, yang jelas operatornya pasti manusia juga. Tetap perlakukan sebagai manusia, walau katakanlah mereka tidak menganggap kita manusia. Akun pajolloro ini juga samaran ;)